Dalam kehidupan masyarakat modern, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengatur, tetapi juga sebagai penjaga nilai kemanusiaan. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial, hukum sering kali kehilangan ruh moralnya. Tantangan terbesar kita hari ini adalah menegakkan keadilan tanpa meninggalkan nilai kemanusiaan dan keilahian.
Hukum modern cenderung berorientasi pada prosedur dan bukti formal. Padahal, keadilan sejati tidak hanya diukur dari kesesuaian teks dengan pasal, tetapi juga dari sejauh mana hukum menghadirkan kemaslahatan. Pepatah “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” muncul ketika hukum gagal menyentuh nurani masyarakat. Karena itu, nilai moral dan integritas menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap penerapan hukum.
Dalam pandangan K.H. Ali Yafie, hukum Islam tidak boleh berhenti sebagai teks normatif. Ia harus menjadi ijtihad sosial yang hidup di tengah masyarakat. Artinya, hukum perlu dibaca ulang sesuai konteks zamannya agar tetap adil dan relevan. Sementara H.M. Atho’ Mudzhar menegaskan pentingnya pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dalam setiap pembaruan hukum. Tujuan hukum, menurutnya, bukan sekadar menegakkan aturan, melainkan menjaga kemaslahatan manusia: melindungi jiwa, harta, akal, keturunan, dan agama.
Pemikiran kedua tokoh ini memberi pesan penting bagi mahasiswa dan akademisi hukum: hukum tidak boleh membeku, tetapi harus bergerak bersama dinamika sosial. Di sinilah peran perguruan tinggi — membentuk sarjana hukum yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap nilai kemanusiaan.
Pada akhirnya, keadilan adalah ruh dari setiap peraturan. Tanpa keadilan, hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat. Maka, tugas kita bersama adalah memastikan hukum senantiasa berpihak pada kebenaran, menjunjung kemaslahatan, dan memuliakan manusia sebagaimana cita-cita luhur hukum Islam itu sendiri.