Skip ke Konten

Pendidikan Islam Inklusif Gender: Membangun Karakter Anak Tanpa Diskriminasi

Oleh: Dr. Ahdar, M.Pd.I | Ketua Prodi S2 Pendidikan Agama Islam
19 November 2025 oleh
Pendidikan Islam Inklusif Gender: Membangun Karakter Anak Tanpa Diskriminasi
Admin Pasca

Di tengah arus modernitas dan perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tuntutan yang semakin kompleks. Bukan hanya sekadar mengajarkan akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, serta penghargaan terhadap martabat manusia. Salah satu isu penting yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menginternalisasikan prinsip inklusif gender dalam proses pembelajaran. Tantangan ini muncul bukan untuk mengubah ajaran Islam, melainkan untuk memastikan bahwa nilai luhur agama dipraktikkan secara lebih adil dan relevan dengan kondisi kekinian.

Pendidikan Islam inklusif gender bukan sekadar label, melainkan kerja besar yang melibatkan reformasi paradigma, kurikulum, metode pembelajaran, hingga budaya sekolah. Pertanyaannya: apakah lembaga pendidikan kita sudah siap? Apakah guru dan orang tua sudah memiliki pemahaman yang cukup? Atau justru masih terjebak pada stereotip yang membatasi tumbuh kembang anak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab karena masa depan generasi muda sangat ditentukan oleh pendidikan hari ini.

Memahami Makna Inklusif Gender dalam Perspektif Islam

Pertama, kita perlu memahami dengan tepat apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam inklusif gender. Inklusif gender tidak dimaksudkan untuk menghapus identitas laki-laki dan perempuan. Islam mengakui perbedaan biologis keduanya, tetapi tidak membenarkan adanya diskriminasi atau pembedaan hak dan kesempatan yang merugikan salah satu pihak. Prinsipnya sederhana: memberikan akses, perlakuan, dan kesempatan yang setara kepada semua anak, tanpa dibatasi oleh konstruksi sosial yang mempersempit potensi mereka.

Dalam tradisi Islam, banyak teladan yang menunjukkan kehormatan kepada perempuan dan laki-laki secara proporsional. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa perempuan adalah “belahan jiwa laki-laki.” Beliau mencontohkan bagaimana perempuan diberi ruang aktif dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, praktik pendidikan inklusif gender bukanlah hal asing bagi Islam; justru selaras dengan spirit keadilan yang menjadi inti ajaran agama.

Kurikulum dan Pengajaran sebagai Arena Transformasi

Kedua, kurikulum dan metode pembelajaran harus menjadi medium perubahan. Guru merupakan aktor utama, sehingga kompetensi mereka dalam memahami isu-isu gender dan keadilan perlu diperkuat. Guru perlu mampu membaca teks agama secara kontekstual agar tidak menafsirkan ajaran secara literal tanpa memperhatikan tujuan moral yang ingin dicapai.

Aktivitas pembelajaran harus memberi ruang kepada semua anak untuk berpartisipasi secara setara. Misalnya, proyek kelas, kegiatan sains, atau aktivitas kepemimpinan jangan secara otomatis diberikan hanya kepada anak laki-laki. Begitu pula kegiatan literasi, seni, atau domestik tidak semestinya hanya dilabelkan kepada anak perempuan. Ketika peran diberikan berdasarkan kompetensi, bukan stereotip, anak-anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, dan kesadaran sosial yang lebih baik.

Selain itu, materi pelajaran agama, sejarah Islam, hingga pendidikan karakter perlu menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif dari kedua jenis kelamin. Sosok seperti Khadijah, Aisyah, Nusaibah binti Ka’ab, dan ilmuwan perempuan lainnya dapat menjadi teladan bagi semua anak, bukan hanya bagi perempuan. Hal ini penting agar anak tidak membayangkan bahwa kontribusi besar hanya datang dari laki-laki.

Mewujudkan Lingkungan Belajar yang Aman dan Inklusif

Ketiga, lingkungan sekolah dan pesantren harus menjadi ruang aman bebas diskriminasi, bullying, dan kekerasan. Budaya sekolah jauh lebih menentukan daripada aturan tertulis. Cara guru berbicara, memberikan contoh, menegur, dan memotivasi sangat berpengaruh terhadap bagaimana anak memandang dirinya dan orang lain. Jika guru masih menggunakan ungkapan merendahkan—misalnya “anak laki-laki tidak boleh menangis” atau “anak perempuan tidak cocok memimpin”—maka proses pembelajaran secara tidak langsung mengajarkan bias gender.

Oleh karena itu, kebijakan anti-bullying berbasis nilai keislaman perlu ditegakkan secara tegas. Sekolah harus mengembangkan mekanisme pelaporan yang aman, memperkuat literasi emosi anak, serta mempromosikan dialog yang sehat antar siswa. Pendidikan karakter berbasis kasih sayang (‘rahmah’), empati, dan penghormatan menjadi pondasi terciptanya lingkungan belajar yang humanis.

Peran Krusial Orang Tua

Keempat, orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Apa yang ditanamkan di rumah sangat menentukan bagaimana anak memaknai identitas dirinya. Orang tua perlu mendapatkan edukasi mengenai pola asuh adil gender. Misalnya menghindari stigma “tugas rumah hanya untuk perempuan,” atau membatasi bakat anak perempuan hanya pada aktivitas yang dianggap lembut. Sebaliknya, orang tua juga harus membuka ruang bagi anak laki-laki untuk belajar keterampilan domestik, seni, atau aktivitas sosial tanpa merasa terancam identitasnya.

Komunikasi keluarga yang hangat, dialog terbuka tentang kepercayaan, dan penguatan nilai-nilai Islam yang merangkul sangat membantu pembentukan karakter anak. Ketika rumah menjadi tempat yang adil dan inklusif, sekolah hanya tinggal melanjutkan dan menguatkan pondasi tersebut.

Reformasi Bahan Ajar dan Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan

Kelima, diperlukan keberanian untuk meninjau ulang materi pembelajaran. Jika ditemukan konten yang mengandung stereotip, bias tafsir, atau kurang relevan dengan perkembangan zaman, maka lembaga pendidikan Islam harus melakukan revisi. Kolaborasi antara akademisi pendidikan, ulama, praktisi gender, hingga penulis buku pelajaran sangat diperlukan.

Materi yang inklusif bukan berarti liberal atau bertentangan dengan syariat. Justru ia mendekatkan anak pada nilai inti Islam: keadilan, tanggung jawab, musyawarah, adab, serta penghargaan terhadap sesama manusia. Anak-anak yang diajarkan untuk berpikir kritis, empatik, dan adil akan tumbuh menjadi Muslim yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat.

Menuju Masyarakat Berkeadilan Tanpa Diskriminasi

Terakhir, pendidikan Islam inklusif gender merupakan investasi masa depan bangsa. Anak-anak yang tumbuh tanpa diskriminasi akan lebih siap menjadi warga negara yang produktif, kreatif, dan toleran. Mereka akan membawa spirit Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang menciptakan kedamaian, bukan konflik; persatuan, bukan pembedaan; dan keadilan, bukan penindasan.

Untuk itu saya mengajak semua pemangku kepentingan — pengelola madrasah, pesantren, guru, dinas pendidikan, orang tua, serta tokoh agama — untuk mengambil langkah nyata: memperkuat pelatihan guru sensitif gender, memperbaiki bahan ajar, memperluas program parenting inklusif, serta menyusun kebijakan sekolah yang proaktif mencegah diskriminasi.

Dengan langkah bersama, pendidikan Islam tidak hanya menjaga iman dan akhlak, tetapi juga menyiapkan generasi yang mampu membangun masyarakat yang adil, setara, dan harmonis — tanpa diskriminasi, penuh penghormatan, dan memuliakan martabat setiap insan.

di dalam Opini
Pendidikan Islam Inklusif Gender: Membangun Karakter Anak Tanpa Diskriminasi
Admin Pasca 19 November 2025
Share post ini
Arsip