تخطي للذهاب إلى المحتوى

Gerakan Ayah Terima Rapor: Hadirnya Figur yang Lama Hilang

Oleh: Dr. Ahdar, M.Pd.I | Ketua Prodi S2 Pendidikan Agama Islam
22 ديسمبر 2025 بواسطة
Gerakan Ayah Terima Rapor: Hadirnya Figur yang Lama Hilang
Admin Pasca

Setiap pembagian rapor, pemandangan yang jamak kita temui di sekolah adalah barisan ibu menunggu, berdiskusi, bahkan berdebat tentang nilai anaknya. Ayah? Sering kali hanya hadir dalam cerita: “Bapaknya sedang bekerja.” Kalimat ini terdengar wajar, namun jika terus dibiarkan, ia menjelma menjadi budaya diam-diam yang menggeser peran ayah dari pendidikan anak.

Di tengah realitas itulah, Gerakan Ayah Terima Rapor  yang menjadi anjuran pusat telah  menjadi sebuah gagasan sederhana, tetapi sarat makna. Ia bukan sekadar ajakan seremonial agar ayah datang ke sekolah, melainkan upaya mengembalikan peran ayah sebagai figur pendidik utama di rumah bukan hanya pencari nafkah.

Selama ini, pendidikan anak sering dipahami secara sempit sebagai urusan sekolah dan ibu. Padahal, banyak riset pendidikan dan psikologi menunjukkan bahwa keterlibatan ayah berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar, kedisiplinan, kepercayaan diri, bahkan kesehatan mental anak. Kehadiran ayah di momen rapor adalah simbol kuat bahwa proses belajar anak dianggap penting, layak diperhatikan, dan dihargai.

Rapor bukan sekadar kumpulan angka. Ia adalah cermin perjalanan anak tentang usaha, kegagalan, kelebihan, dan potensi yang belum tumbuh. Ketika ayah duduk berdampingan dengan guru dan anaknya, ada pesan emosional yang tersampaikan: “Ayah peduli, ayah hadir, dan ayah bertanggung jawab.” Pesan ini sering kali lebih bermakna daripada nasihat panjang atau hukuman atas nilai rendah.

Sayangnya, masih ada anggapan bahwa ayah yang datang ke sekolah dianggap “tidak bekerja” atau “kurang sibuk”. Stigma ini keliru. Justru ayah yang meluangkan waktu untuk pendidikan anaknya adalah ayah yang memahami investasi jangka panjang. Ia sadar bahwa keberhasilan anak bukan hanya ditentukan oleh jam kerja orang tua, tetapi oleh kualitas relasi dan perhatian yang diberikan.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, Gerakan Ayah Terima Rapor juga berpotensi memutus mata rantai fatherless culture budaya ketiadaan ayah secara emosional meski hadir secara fisik. Banyak anak tumbuh dengan ayah yang ada di rumah, tetapi jauh dari ruang dialog, evaluasi, dan apresiasi. Rapor bisa menjadi pintu masuk percakapan yang jujur dan hangat antara ayah dan anak: tentang mimpi, ketakutan, dan arah masa depan.

Dari perspektif pendidikan karakter, keterlibatan ayah saat menerima rapor mengajarkan nilai tanggung jawab, keteladanan, dan keadilan. Anak belajar bahwa evaluasi bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memperbaiki diri. Bahwa kegagalan bukan aib, melainkan bagian dari proses bertumbuh. Semua itu lebih mudah dipahami ketika ayah hadir bukan sebagai hakim, melainkan sebagai pendamping.

Tentu, gerakan ini tidak boleh berhenti pada satu hari pembagian rapor. Ia harus dilanjutkan dalam bentuk keterlibatan nyata: menemani belajar, berdialog tentang sekolah, mengenal teman dan guru anak, serta hadir dalam pengambilan keputusan pendidikan. Rapor hanyalah awal, bukan tujuan akhir.

Sekolah dan pemerintah daerah juga memiliki peran strategis. Kebijakan yang mendorong kehadiran ayah melalui undangan resmi, kampanye publik, atau penyesuaian waktu pengambilan rapor dapat memperkuat gerakan ini. Pendidikan adalah urusan bersama, dan ayah tidak boleh lagi ditempatkan di pinggir.

Pada akhirnya, Gerakan Ayah Terima Rapor adalah ajakan untuk kembali ke esensi keluarga. Bahwa mendidik anak bukan tugas satu pihak. Bahwa kehadiran ayah bukan pelengkap, melainkan kebutuhan. Dan bahwa masa depan anak-anak kita tidak hanya ditentukan oleh nilai di rapor, tetapi oleh siapa saja yang bersedia duduk, membaca, dan memahami rapor itu bersama mereka.

في Opini
Gerakan Ayah Terima Rapor: Hadirnya Figur yang Lama Hilang
Admin Pasca 22 ديسمبر 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف