تخطي للذهاب إلى المحتوى

Ketika Guru Mengajar, Alam Ikut Berdenyut: Merawat Dunia dengan Cinta

Oleh: Dr. Ahdar, M.Pd.I | Ketua Prodi S2 Pendidikan Agama Islam
24 نوفمبر 2025 بواسطة
Ketika Guru Mengajar, Alam Ikut Berdenyut: Merawat Dunia dengan Cinta
Admin Pasca

Di tengah perubahan zaman yang demikian cepat dan kompleks, kehadiran seorang guru seringkali menjadi satu-satunya ruang hening yang menyelamatkan. Ketika teknologi berlari, ekonomi bergerak, dan dunia sosial dipenuhi hiruk-pikuk, seorang guru tetap berdiri di ruang kelas, menata kembali arah manusia. Dalam setiap langkahnya, ada cinta yang mengalir; dalam setiap kata yang ia sampaikan, ada kehidupan yang berdenyut. Seringkali, kita lupa bahwa di balik kokohnya peradaban, berdiri sosok-sosok sederhana yang bekerja dalam sunyi. Mereka adalah guru penjaga semesta kecil yang kelak tumbuh menjadi dunia yang lebih besar.

Hari Guru bukan hanya agenda tahunan yang diperingati dengan spanduk, upacara, atau sekadar kalimat apresiasi. Lebih dari itu, Hari Guru adalah momen untuk kembali memaknai bagaimana profesi ini bekerja sebagai denyut kehidupan bagi dunia. Guru tidak hanya mengajarkan rumus, teori, atau definisi, tetapi merawat manusia sebagai bagian dari semesta. Guru menghadirkan cinta sebagai energi utama dalam pendidikan. Cinta yang bukan sekadar rasa, tetapi komitmen untuk melihat manusia lain tumbuh, berkembang, dan menemukan jalan hidupnya.

Cinta dalam profesi guru adalah energi yang menggerakkan semesta. Seorang guru bangun pagi, menyiapkan bahan ajar, meluangkan waktu untuk membaca, menasihati murid yang sedang gelisah, dan tetap mengajar meski lelah. Semua itu dilakukan bukan karena paksaan, tetapi karena cinta. Cinta inilah yang membuat seorang guru mampu bertahan dalam kesulitan, bersabar menghadapi murid yang sulit diatur, dan terus percaya bahwa setiap anak memiliki potensi. Cinta membuat guru memahami bahwa setiap manusia yang duduk di depannya adalah dunia yang harus dirawat. Setiap anak membawa masa depan, dan masa depan itu dititipkan kepada seorang guru.

Ketika guru mengajar dengan cinta, sebenarnya ia tidak hanya sedang membangun pengetahuan, tetapi juga sedang menggerakkan alam. Mengapa demikian? Karena manusia adalah bagian dari ekosistem kehidupan. Ketika seorang guru mengajarkan kejujuran, alam turut terjaga. Ketika guru menanamkan cinta pada sesama, bumi menjadi lebih damai. Ketika guru menuntun murid mencintai lingkungan, sungai menjadi lebih bersih, pohon lebih dihargai, dan udara lebih dijaga. Maka setiap tindakan guru, meski tampak kecil, memiliki pantulan yang jauh lebih besar. Ia merambat ke luar ruang kelas, mengalir ke keluarga, menembus masyarakat, dan pada akhirnya memperbaiki dunia.

Mengajar adalah pekerjaan yang mungkin terlihat sederhana, tetapi dampaknya sangat luas. Ketika guru mendidik anak untuk berpikir kritis, untuk bertanya, untuk berani bermimpi, ia sedang membangun generasi yang kelak mampu mengambil keputusan besar. Keputusan-keputusan itu suatu hari akan menentukan arah bangsa, arah teknologi, arah peradaban. Guru mungkin tidak menyaksikan hasilnya hari ini. Namun sejarah mengajarkan bahwa guru adalah pelopor perubahan yang tidak selalu tercatat namanya, tetapi selalu dirasakan manfaatnya. Ibarat akar pohon yang tidak terlihat, guru menopang tegaknya peradaban.

Dalam tradisi pendidikan Islam, guru memiliki kedudukan mulia sebagai pewaris misi kenabian. Guru bukan sekadar profesi, tetapi amanah. Ia bertugas membawa cahaya bagi muridnya, bukan hanya dalam sisi akademik, melainkan dalam sisi spiritual dan moral. Ketika seorang guru mengajarkan adab sebelum ilmu, ia sedang merawat semesta agar tetap hidup dalam nilai-nilai kebaikan. Ketika guru mengajarkan syukur, sabar, dan hormat, ia sedang menumbuhkan manusia yang kelak mencintai alam, memuliakan sesama, dan menjaga keseimbangan hidup. Pendidikan bukan hanya proses intelektual, tetapi proses penyucian hati dan pembentukan karakter. Dalam ruang inilah cinta guru menemukan tempat terbaiknya.

Cinta guru bekerja dalam diam. Ia tidak menuntut pujian, tidak meminta tepuk tangan, dan tidak menginginkan panggung. Ia hanya berharap satu hal: murid-muridnya tumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Ketika murid berhasil, guru merasa bahagia. Ketika murid tersesat, guru merasa sedih. Cinta guru begitu halus tetapi sangat kuat. Hanya sedikit profesi yang ikatannya bersifat emosional sekaligus spiritual seperti ini. Guru membangun hubungan yang tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga dalam hati murid-muridnya hingga dewasa.

Namun, tantangan guru masa kini semakin berat. Anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus digital, terkadang kehilangan arah karena informasi yang terlalu banyak dan nilai yang semakin kabur. Guru tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga harus menjadi kompas moral, menjadi teladan, menjadi teman diskusi, menjadi pendengar, bahkan kadang menjadi penyembuh bagi anak-anak yang rapuh secara emosional. Di sinilah cinta memainkan peran paling menentukan. Tanpa cinta, pendidikan akan kehilangan jiwanya. Tanpa cinta, guru hanya akan menjadi pengajar, bukan pendidik. Padahal bangsa ini membutuhkan pendidik—orang-orang yang mampu menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala.

Maka, merawat dunia dengan cinta berarti merawat pendidikan. Dan merawat pendidikan berarti merawat guru. Kita tidak bisa berharap pada generasi emas jika guru yang mendidiknya tidak dihargai. Kita tidak bisa bermimpi memiliki bangsa yang unggul jika guru-gurunya tidak diberi ruang untuk tumbuh, untuk belajar, dan untuk dihormati. Penghargaan terhadap guru tidak selalu berbentuk materi. Ia bisa berupa kepercayaan, dukungan, rasa hormat, dan keterlibatan bersama dalam membangun pendidikan yang lebih manusiawi.

Pada Hari Guru ini, marilah kita berhenti sejenak untuk merenungkan betapa banyak hidup yang telah disentuh oleh seorang guru. Betapa banyak mimpi yang terlahir dari ruang kelas. Betapa banyak perubahan yang bermula dari pensil, papan tulis, atau percakapan kecil di sela jam pelajaran. Guru mungkin tidak memiliki kekuasaan besar, tidak memiliki jabatan tinggi, tetapi guru memiliki kekuatan yang mampu mengubah masa depan manusia. Dan kekuatan itu lahir dari cinta.

Cinta guru adalah cahaya yang tidak pernah padam. Ia menerangi lorong-lorong hati muridnya meski waktu terus berlalu. Ia menyalakan harapan baru setiap hari meski dunia tampak gelap. Ia menggerakkan semesta pendidikan dengan cara yang paling lembut. Dan ketika seorang guru mengajar, sungguh, alam ikut berdenyut. Ada kehidupan yang kembali tumbuh. Ada dunia yang kembali diselamatkan.

Semoga pada Hari Guru ini, kita semua kembali menyadari bahwa merawat pendidikan adalah merawat masa depan bangsa. Dan merawat masa depan bangsa berarti merawat guru mereka yang mengajarkan kita arti mencintai semesta dengan tulus, sabar, dan penuh pengabdian. Guru tidak hanya membangun kecerdasan, tetapi membangun dunia. Dan dunia itu akan terus berdenyut selama di dalamnya masih ada guru yang mengajar dengan cinta.

في Opini
Ketika Guru Mengajar, Alam Ikut Berdenyut: Merawat Dunia dengan Cinta
Admin Pasca 24 نوفمبر 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف