تخطي للذهاب إلى المحتوى

Uang Panai dan Martabat Keluarga: Membedah Nilai, Cinta, dan Tanggung Jawab dalam Pernikahan

Oleh: Muh. Ahsan | Magister hukum Keluarga Islam | muh.ahsan@iainpare.ac.id
30 أكتوبر 2025 بواسطة
Uang Panai dan Martabat Keluarga: Membedah Nilai, Cinta, dan Tanggung Jawab dalam Pernikahan
Admin Pasca

Di Sulawesi Selatan, tradisi uang panai bukan sekadar rutinitas adat ia adalah simbol penghargaan, identitas kultural, sekaligus cermin status sosial. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, besaran panai kerap ditafsirkan sebagai ukuran keseriusan calon mempelai laki-laki dan kehormatan keluarga perempuan. Namun ketika angka-angka fantastis dari puluhan juta sampai miliaran rupiah mulai muncul sebagai norma yang dipublikasikan dan dipertontonkan, timbul pertanyaan kritis apakah martabat dan tanggung jawab keluarga benar-benar terjamin oleh besarnya panai, atau justru tradisi ini beralih peran menjadi beban sosial yang menghambat realitas pernikahan?

Dalam praktiknya, besaran uang panai di masyarakat sangat bervariasi. Secara umum, ada kebiasaan sosial yang mengaitkan jumlah panai dengan tingkat pendidikan calon mempelai perempuan. Misalnya, bagi lulusan SMA, S1, atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi, jumlah panai biasanya ditentukan dalam kisaran yang berbeda. Selain itu, faktor keturunan atau status sosial juga sering memengaruhi besarnya panai, terutama bagi keluarga yang dianggap “berdarah biru” atau memiliki kedudukan terpandang. Fenomena ini bahkan sering menjadi sorotan publik, karena ada kasus pernikahan dengan uang panai yang mencapai miliaran rupiah. Akibatnya, muncul perdebatan di masyarakat mengenai apakah tradisi panai masih berfungsi sesuai makna aslinya atau justru berubah menjadi ajang gengsi di era modern.

Dari sisi nilai, tradisi uang panai sebenarnya memiliki makna yang baik. Panai dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan, tanda keseriusan calon suami, dan sebagai bantuan untuk kebutuhan rumah tangga pihak perempuan. Namun, makna tersebut kini mulai bergeser. Uang panai sering dianggap sebagai simbol gengsi atau ajang pembuktian status sosial. Akibatnya, banyak calon pengantin laki-laki dari keluarga sederhana merasa tertekan secara ekonomi maupun psikologis. Mereka berada dalam dilema antara menjaga kehormatan sesuai adat atau menghadapi kenyataan bahwa biaya panai terlalu tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tuntutan panai yang tidak seimbang dengan kemampuan ekonomi dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti batalnya rencana pernikahan, terganggunya keuangan keluarga, bahkan munculnya praktik berutang yang berisiko.

Dari ranah syariah dan fatwa lokal pun ada upaya mereposisi tradisi ini agar tidak merugikan. Di Sulawesi Selatan, tokoh agama dan lembaga keagamaan telah mengeluarkan panduan supaya panai tetap bermakna tanpa menjelma menjadi eksploitasi ekonomi atau ajang pamer. Rekomendasi ini menekankan kesepakatan bersama, proporsionalitas, dan fungsionalitas panai untuk kebutuhan keluarga, bukan sebagai alat kompetisi status. Pendekatan semacam ini perlu diperkuat agar martabat keluarga tidak diukur hanya oleh angka.

Solusi praktis yang bisa ditempuh adalah tiga arah simultan. Pertama, edukasi pra-nikah yang melibatkan nilai agama, keuangan keluarga, dan negosiasi adat agar calon pasangan dan keluarga memahami batasan serta fungsi panai secara rasional. Kedua, fasilitasi dialog antara tokoh adat, pemuka agama, dan pemerintah daerah untuk menetapkan kearifan lokal yang adaptif; misalnya, pedoman rekomendasi nominal yang mempertimbangkan kondisi ekonomi setempat dan tidak memaksa pihak yang kurang mampu. Ketiga, memperkuat akses pembiayaan wajar dan program pendampingan keluarga pasca nikah agar beban awal tidak merusak kelangsungan rumah tangga. Kajian empiris menunjukkan bahwa intervensi pendidikan keluarga dan dukungan layanan konseling menurunkan tingkat konflik pasca nikah indikator penting dari fungsi panai yang sesungguhnya: menjaga keharmonisan, bukan menimbulkan beban.

Pada akhirnya, menjaga martabat keluarga bukan soal angka panai semata melainkan soal integritas nilai: cinta yang bertanggung jawab, komitmen yang realistis, serta penghormatan pada martabat manusia tanpa eksploitasi. Uang panai idealnya menjadi sarana penghormatan dan bantuan praktis bukan rujukan untuk pamer status atau alat untuk menguji kesetiaan. Jika tradisi ini dikelola dengan kebijaksanaan, panai bisa kembali pada fungsi asalnya: memperkuat ikatan sosial dan menempatkan keluarga sebagai unit yang bermartabat serta mandiri secara ekonomi.

Oleh karena itu, keluarga, tokoh adat, lembaga keagamaan, dan pemerintah daerah perlu bekerja sama untuk memperbaiki praktik uang panai agar tetap sejalan dengan nilai-nilai utama seperti martabat, cinta yang tulus, dan tanggung jawab bersama. Jika hal ini diabaikan, besarnya jumlah panai hanya akan menjadi simbol tanpa makna yang justru dapat melemahkan fondasi keluarga yang seharusnya dibangun atas dasar kasih sayang dan kesadaran moral.

في Opini
Uang Panai dan Martabat Keluarga: Membedah Nilai, Cinta, dan Tanggung Jawab dalam Pernikahan
Admin Pasca 30 أكتوبر 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف