Humas IAIN Parepare- Webinar Internasional Pascasarjana IAIN Ternate salah satu kegiatan akademik yang sering diadakan di Kampus ini. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan dosen dan mahasiswa Pascasarjana dengan tema “Gender Issues and Legal Law Justice in Islamic Law”. Minggu (07/07/2024).
Webinar internasional ini melibatkan beberapa narasumber luar dan dalam negeri dari berbagai negara yang ahli di bidangnya, memberikan ceramah dan diskusi. pada sesi pertama diantaranya: Prof. Dr. Niyazi Beki (Lecture of Uskudar University, Turkey), Dr. Islamul Haq. Lc MA (Director of Postgraduate IAIN Parepare, Islamic Criminal Low Lecturer of IAIN Parepare), Dr. Fatum Abubakar, M. Ag. (Islamic Family Low Lecture of IAIN Ternate), Limatus Sauda, M. Hum (Visiting Scholar University of California Riverside (UCR), USA Lektur of KH. Abdul ChalimUniversty), Dr. Harwis, Lc., M.H.I (Head of Islamic Family Low Magister Program of IAIN Ternate), sedangkan sesi kedua, Izhar H. Ajid, BA (Moderator), Rusdi Arfah, S.S (Postgraduate Student of IAIN Ternate), Asma Madilis, S. H.I (Postgraduate Student of IAIN Ternate), Arni Madjid, S.H.I (Postgraduate Student of IAIN Parepare)
Islamul Haq menjelaskan posisi saksi perempuan dalam hukum pidana Islam, di mana kesaksian dianggap sebagai salah satu alat untuk menjaga kemaslahatan umat. Syariah telah menetapkan beberapa syarat untuk validitas kesaksian, di antaranya adalah mencapai usia dewasa, memiliki akal sehat, adil, dan jumlah yang memadai. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha muslim mengenai syarat-syarat lainnya, seperti jenis kelamin. Sebagian besar ulama klasik, seperti dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyyah, dan Hanabilah, tidak menerima kesaksian dari perempuan dalam konteks hukum pidana Islam.
"Di satu sisi, ulama-ulama ini menganggap bahwa syarat jenis kelamin menjadi pertimbangan penting dalam menilai keabsahan kesaksian dalam konteks hukum pidana. Pandangan ini tercermin dalam interpretasi tradisional masing-masing mazhab terhadap teks-teks hukum Islam. Meskipun demikian, beberapa ulama modern dan kelompok pemikir berpendapat bahwa kriteria ini harus dipahami dalam konteks waktu dan tempat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan prinsip kemaslahatan sosial yang lebih luas," jelasnya.
Direktur Pascasarjana IAIN Ternate Samlan Ahmad menjelaskan contoh kesetaraan gender, termasuk dalam hak waris. "Pada prinsipnya kita bicara tentang kesetaraan gender, hukum warisan Islam hal ini sangat menarik, terkait warisan di dalam Al Qur’an sudah jelas, namun dalam konteks kenegaraan dan kedaerahan atau hukum adat masyarakat tertentu menjadikannya sebagai prinsip dalam pembagian harta warisan. Saya kira hal ini menjadi perbincangan yang sangat menarik dalam Webinar Internasional ini, jadi persoalan pembagian warisan harus perlu diperhatikan, jangan sampai salah dalam pembagiannya,” ujar Samlan Ahmad.
"Di Indonesia pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sama, namun dalam persoalan hukum, bukan itu yang menjadi masalah, kita harus menempatkan hukum sesuai dengan kaidah yang sebenarnya," tambahnya.
Kontroversi ini mencerminkan dinamika interpretasi dan aplikasi hukum Islam dalam masyarakat yang terus berkembang, di mana penafsiran terhadap teks-teks hukum terus mengalami evolusi seiring dengan perubahan zaman dan kondisi sosial. Meskipun demikian, diskusi tentang kedudukan saksi perempuan dalam hukum pidana Islam tetap menjadi topik yang kompleks dan kontroversial, memperlihatkan beragam sudut pandang dari kalangan cendekiawan Islam. (shz/mif)