Bayangkan ini: Anda duduk di kafe, menyeruput kopi, dan hanya dengan mengetik satu perintah ke ChatGPT, esai kuliah sudah tersaji lengkap di layar. Anda tinggal mengedit sedikit dan mengirimnya. Sementara itu, di ruang dosen, seorang pengajar masih mempersiapkan bahan kuliah tentang “cara menulis esai ilmiah yang baik dan benar.” Ironis, bukan?
Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah mengubah banyak hal—dan muncul pertanyaan besar: apakah pendidikan tinggi masih relevan di dunia yang dikuasai algoritma pintar?
Selama berabad-abad, universitas dianggap menara ilmu dan moral. Di sanalah orang belajar berpikir Kritis, berargumentasi dengan bijak, dan menemukan makna pengetahuan. Kini, siapa pun bisa belajar dari YouTube, ChatGPT, atau Perplexity - platform yang bisa menjelaskan teori, merangkum jurnal, bahkan membantu menulis karya ilmiah hanya dengan beberapa klik. Pengetahuan yang dulu eksklusif di ruang kuliah kini ada di layar digital. Dunia berubah, dan fungsi pendidikan tinggi pun dipertanyakan.
Namun, masalah sebenarnya bukanlah relevansi universitas, melainkan cara lamanya mengajar. Model kuliah satu arah dan hafalan yang dominan, meskipun evaluasi berbasis nilai tetap penting, tidak selalu mencerminkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan menghadapi dunia nyata. Mahasiswa hari ini hidup di era di mana kecerdasan diukur bukan sekadar apa yang mereka hafal, tetapi seberapa baik mereka memahami, menilai, dan menerapkan pengetahuan.”
AI memang cerdas, tapi tidak bijak. Ia bisa menjawab pertanyaan, menganalisis data, bahkan menulis esai, tapi ia tidak bisa menanamkan empati, etika, atau kesabaran. Inilah peran pendidikan tinggi yang tetap tak tergantikan: membentuk manusia, bukan hanya gelar.
Kampus idealnya menjadi laboratorium kehidupan—tempat mahasiswa berlatih berpikir kritis, berdiskusi etis, dan menyeimbangkan logika dengan nilai kemanusiaan.
Dengan hadirnya teknologi seperti AI, cara belajar dan mengakses informasi tentu berubah. Mahasiswa kini memiliki lebih banyak alat untuk belajar mandiri, merangkum informasi, dan menjelajah pengetahuan. Dalam konteks ini, peran dosen tidak hilang, melainkan beradaptasi.
Dosen tetap menjadi pembimbing dan pemandu pemikiran, membantu mahasiswa mengolah informasi menjadi pengetahuan yang bermakna, menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, serta membentuk karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Esensinya tetap sama: membentuk manusia utuh.
Bagi saya pribadi, menuntut ilmu bukan sekadar memperoleh gelar, tetapi membangun masyarakat yang religius, moderat, inovatif, dan unggul. Oleh karena itu, pendidikan tinggi idealnya menyiapkan mahasiswa tidak hanya cerdas, berbudi, dan berdampak, tetapi juga mampu memberi kontribusi nyata bagi lingkungan sekitar. Prinsip ini menjadi pemandu saya dalam belajar dan menulis, sekaligus menegaskan bahwa tujuan pendidikan lebih dari sekadar pengetahuan—ia juga soal membentuk karakter dan membawa perubahan positif.
Jika ingin tetap relevan, universitas harus menjadi ekosistem belajar adaptif. Bukan sekadar pencetak sarjana, tapi pengasah pembelajar seumur hidup. Kurikulum harus mendorong kreativitas, keberanian bertanya, dan kemampuan berpikir kritis. Mahasiswa diajak memanfaatkan AI sebagai rekan berpikir, bukan jalan pintas.
Pendidikan tinggi kembali pada nilai dasarnya: membentuk manusia utuh—cerdas, berbudi, dan berdampak. Saat teknologi semakin pintar, dunia justru akan lebih membutuhkan manusia yang bijak, empatik, dan berpikir kritis.
AI mengubah cara kita belajar, tapi tidak bisa menggantikan makna belajar itu sendiri. Belajar sejati bukan soal hasil, tetapi proses menjadi lebih sadar, lebih peka, dan lebih bijak. Pendidikan tinggi tetap relevan—jika ia tidak berhenti menjadi sekolah gelar, tapi tumbuh menjadi sekolah kehidupan.
Pertanyaan yang lebih tepat bukan “apakah pendidikan tinggi masih relevan di era AI,” tapi: apakah kita, sebagai pendidik dan pembelajar, siap tetap relevan di dunia yang terus berubah?
Karena pada akhirnya, masa depan bukan milik yang paling pintar, tapi mereka yang paling mau terus belajar.