Skip to Content

Ketika Sakinah Diukur dari Gerakan Tangan: Ironi Pendidikan Keluarga di Era Digital

Oleh: Arman | Magister Hukum keluarga Islam | armanhki@iainpare.ac.id
October 29, 2025 by
Ketika Sakinah Diukur dari Gerakan Tangan: Ironi Pendidikan Keluarga di Era Digital
Admin Pasca

Fenomena Tepuk Sakinah akhir-akhir ini seolah menjadi bagian penting dari kegiatan pembinaan keluarga Islami di lingkungan masyarakat utamanya bagi mereka yang baru saja melangsungkan pernikahan. Dengan gerakan tangan berirama dan seruan “sakinah, mawaddah, wa rahmah”, praktik ini bertujuan menanamkan semangat kebersamaan dan nilai-nilai keluarga harmonis. Namun, dalam konteks pendidikan keluarga Islam, muncul pertanyaan kritis: apakah harmoni keluarga benar-benar dapat dibangun hanya melalui simbol dan tepukan yang bersifat seremonial? Pertanyaan ini penting, sebab dalam banyak kasus, nilai agama sering kali berhenti pada bentuk yang menarik secara visual, tetapi miskin refleksi substantif.

Di satu sisi, Tepuk Sakinah adalah bentuk inovasi dakwah yang kreatif. Ia mampu mencairkan suasana, memudahkan komunikasi, dan memperkenalkan nilai sakinah dengan cara yang menyenangkan. Generasi muda pun lebih mudah terlibat karena bentuknya ringan dan mudah diingat. Namun di sisi lain, ketika substansi nilai direduksi menjadi sekadar aktivitas fisik, dakwah berpotensi kehilangan kedalaman spiritualnya. Sakinah sebagai nilai luhur keluarga Islami bukan sekadar slogan, melainkan proses membangun ketenangan jiwa melalui ibadah, dialog, dan komitmen moral dalam kehidupan rumah tangga.

Kecenderungan masyarakat untuk menilai keberhasilan dakwah dari seberapa ramai dan menariknya kegiatan, tanpa memperhatikan dampak nilai yang tertanam, menjadi tantangan tersendiri. Budaya digital mempercepat pola tersebut: segala sesuatu harus “terlihat menarik” agar dianggap berhasil. Dalam konteks ini, Tepuk Sakinah bisa menjadi simbol dari dakwah yang viral, tetapi belum tentu mendalam. Nilai sakinah yang seharusnya mengajarkan keseimbangan spiritual, emosional, dan sosial malah berisiko terjebak dalam formalitas yang dangkal.

Padahal, hasil penelitian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2023 menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor komunikasi dan pengelolaan emosi. Sebanyak 72% keluarga harmonis terbentuk karena adanya kemampuan menyelesaikan konflik secara terbuka dan empatik, bukan karena partisipasi dalam kegiatan simbolik atau seremonial. Fakta ini memperlihatkan bahwa nilai sakinah sejatinya tumbuh melalui pengalaman interpersonal, bukan melalui hafalan atau gerakan bersama.

Masih banyak cara yang lebih substansial untuk menanamkan nilai sakinah dalam keluarga. Pertama, melalui pendidikan pra-nikah yang membekali calon pasangan dengan kesiapan emosional, spiritual, dan finansial. Kedua, lewat program pendampingan keluarga berkelanjutan, seperti kelas parenting Islami atau majelis taklim keluarga, yang menanamkan nilai komunikasi dan keadilan peran dalam rumah tangga. Ketiga, dengan membangun tradisi dialog terbuka di rumah, di mana setiap anggota keluarga dapat mengekspresikan pendapat tanpa takut dihakimi. Penelitian Universitas Gadjah Mada tahun 2022 menunjukkan bahwa keluarga dengan pola komunikasi terbuka memiliki tingkat konflik 30% lebih rendah dibanding keluarga yang menutup diri.

Dengan demikian, membangun keluarga sakinah tidak bisa dicapai hanya melalui serangkaian gerakan tangan, melainkan melalui upaya sadar dan konsisten dalam memahami makna sakinah secara utuh. Sakinah bukan hasil dari irama yang dihafal, melainkan dari sikap tenang menghadapi perbedaan, kemampuan menahan amarah, serta kemauan untuk saling memperbaiki diri. Maka, Tepuk Sakinah seharusnya diposisikan bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai pintu masuk menuju refleksi yang lebih dalam tentang nilai-nilai keluarga dalam Islam.

Ke depan, lembaga dakwah, pemerintah, dan institusi pendidikan Islam perlu menata ulang orientasi pembinaan keluarga agar lebih menekankan substansi daripada simbol. Inovasi dakwah tetap penting, tetapi harus disertai kedalaman makna agar tidak terjebak dalam budaya hiburan moral. Dakwah yang mendidik tidak harus viral, tetapi harus menyentuh hati dan membentuk perilaku. Dengan cara itu, sakinah tidak lagi diukur dari kerasnya tepukan tangan, melainkan dari tenangnya rumah tangga yang kokoh oleh nilai kasih, tanggung jawab, dan kesadaran spiritual.